Pengertian dan Definisi HAM
HAM / Hak Asasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat siapa pun. Sebagai warga negara yang baik kita mesti menjunjung tinggi nilai hak azasi manusia tanpa membeda-bedakan status, golongan, keturunan, jabatan, dan lain sebagainya.
Melanggar HAM seseorang bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Hak asasi manusia memiliki wadah organisasi yang mengurus permasalahan seputar hak asasi manusia yaitu Komnas HAM. Kasus pelanggaran ham di Indonesia memang masih banyak yang belum terselesaikan / tuntas sehingga diharapkan perkembangan dunia ham di Indonesia dapat terwujud ke arah yang lebih baik. Salah satu tokoh ham di Indonesia adalah Munir yang tewas dibunuh di atas pesawat udara saat menuju Belanda dari Indonesia.
Pembagian Bidang, Jenis dan Macam Hak Asasi Manusia Dunia :
1. Hak asasi pribadi / personal Right
- Hak kebebasan untuk bergerak, bepergian dan berpindah-pndah tempat
- Hak kebebasan mengeluarkan atau menyatakan pendapat
- Hak kebebasan memilih dan aktif di organisasi atau perkumpulan
- Hak kebebasan untuk memilih, memeluk, dan menjalankan agama dan kepercayaan yang diyakini masing- masing
2. Hak asasi politik / Political Right
- Hak untuk memilih dan dipilih dalam suatu pemilihan
- hak ikut serta dalam kegiatan pemerintahan
- Hak membuat dan mendirikan parpol / partai politik dan organisasi politik lainnya
- Hak untuk membuat dan mengajukan suatu usulan petisi
3. Hak azasi hukum / Legal Equality Right
- Hak mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan
- Hak untuk menjadi pegawai negeri sipil / pns
- Hak mendapat layanan dan perlindungan hukum
4. Hak azasi Ekonomi / Property Rigths
- Hak kebebasan melakukan kegiatan jual beli
- Hak kebebasan mengadakan perjanjian kontrak
- Hak kebebasan menyelenggarakan sewa-menyewa, hutang-piutang, dll
- Hak kebebasan untuk memiliki susuatu
- Hak memiliki dan mendapatkan pekerjaan yang layak
5. Hak Asasi Peradilan / Procedural Rights
- Hak mendapat pembelaan hukum di pengadilan
- Hak persamaan atas perlakuan penggeledahan, penangkapan, penahanan dan penyelidikan di mata hukum.
6. Hak asasi sosial budaya / Social Culture Right
- Hak menentukan, memilih dan mendapatkan pendidikan
- Hak mendapatkan pengajaran
- Hak untuk mengembangkan budaya yang sesuai dengan bakat dan minat
sumber : www.organisasi.org
Contoh kasus nasib TKI di Arabsaudi
Yang bernma Sumiarti, Selama Sumiati bekerja menjadi TKI di Arab Saudi ternyata belum pernah gajian. Hal itu diungkapkan Zulkarnaen, paman Sumiati.
'Sumiati belum pernah digaji sehingga tidak bisa mengirim uang ke orangtuanya' kata Zulkarnaen.
Padahal Sumiati TKI yang mengalami penyiksaan parah oleh majikannya di Arab Saudi itu merupakan tulangpunggung keluarga.
Yang lebih parah lagi, seluruh daftar nomor telepon beserta telepon genggam Sumiati diambil majikannya sehingga Sumiati tidak pernah bisa mengabarkan keadaannya di sana.
Dan keluarga di Dompu, NTB, tidak pernah tahu bahwa disiksa majikannya. 'Setelah sampai di sana hp-nya disita,' ujarnya.
Adapun penyiksaan yang dialami Sumiati baru bisa diketahui pihak keluarga setelah sang mantan pacar menelpon keluarga Sumiati di Dompu. Kabar buruk dari mantan pacar, sontak membuat keluarga panik dan segera menghubungi pihak PJTKI.
'Kejadian ini baru tahu, karena ada teman (TKW) yang dari Sulawesi telpon, suruh diingat lagi nomor pacarnya. Dari mantan pacarnya Sumiati itu baru dia kabarin Sumiati,' paparnya.
Sebagai paman, Zul tak mempunyai firasat apapun bahwa Sumiati mengalami penyiksaan. 'Mungkin kalau ibunya punya perasaan. Kan karena darah
Read More: http://dunia-statistik.blogspot.com/2010/11/nasib-sumiati-tki-arab-saudi.html#ixzz1FDgfQY72
Minggu, 27 Februari 2011
Demokratisasi
Demokratisasi adalah suatu perubahan baik itu perlahan maupaun secara cepat kearah demokrasi. Demokratisasi ini menjadi tuntutan global yang tidak bisa dihentikan. Jika demokratisasi tidak dilakukan, maka bayaran yang harus diterima adalah balkanisasi, perang saudara yang menumpahkan darah, dan kemunduran ekonomi dengan sangat parah (BJ Habibie 2005).
Demokratisai disuatu system pemerintahan memerlukan proses yang tidaklah mudah. Pada saat perubahan terjadi, selalu ada orang yang tidak ingin melakukan perubahan terus menerus, atau ada manusia yang tidak mampu menyesuaikan diri.Dalam kontes demokratisasi, peran individu yang mampu menerima perubahan itu sangat penting. Untuk itulah, individu harus punya tanggung jawab. Apalagi globalisasi yang terus mendorong perubahan yagn tidak bisa ditahan oleh Negara manapun.
Contoh demokratisasi yang masih hangat beritanya yaitu lengsernya Husni Mubarak yang menjabat memerintah Mesir kurang lebih 31 tahun. Dengan pemerintahan yang otoriter maka masyarakat mesirpun gerah dan terjadi demonstrasi akbar, dan melengserkan Husni Mubarak. Demontrasi tersebut berlangsung kurang lebih 14 hari, akhirnya “Jumatul Ghadhab” itu menemukan “Jumatut Tarhil” (Jumat perginya Mubarak), revolusi Jumat di Mesir yang dimulai pekan terakhir Januari 2011, berakhir pada Jumat ketiga tepat 11/02/2011. Hari bersejarah bagi Mesir dimana kediktatoran Husni Mubarak bisa dihentikan. Kemenangan suara rakyat yang juga menjadi suara Tuhan. Korban ratusan orang akibat bentrokan-bentrokan demonstran tidak sia-sia.
Trik-trik mengambil hati rakyat yang mulai berdemo sejak 26/01/11 itu dimulai dengan dibentuknya kabinet Ahmed Shafiq (28/01/11), janji pemilu, janji akan adanya demokrasi, janji reformasi, tapi semuanya tak mempan. Para pengunjuk rasa selama 3 pekan fokus, perubahan rezim tidak hanya sekedar perubahan kabinet, atau sekedar kedok bongkar pasang pimpinan pemerintahan yang ujung-ujungnya masih kroni Mubarak. “Mereka yang menuntut perubahan rezim, tidak mengubah kabinet,” wartawan Al Jazeera Rawya Rageh memberitakan.
Ribuan demonstran entah punya keberanian darimana, entah mempunyai tenaga tanpa henti darimana, tetap fokus, bergeming, tak tergoyahkan untuk terus menyuarakan turunnya sang Firaun masa kini. Militer yang biasanya galak menyalakkan senjata, tak kuasa bertindak lebih jauh melawan rakyat negeri sendiri. Militer Mesir memainkan peran besar dan kiranya terpuji mengukirkan sejarah baru untuk perubahan positif di negara itu.
Sejarah panjang dari tahun 1981 sampai 2011 tepat 30 tahun kekuasaannya, upaya-upaya mengakhiri kediktatoran bermacam-macam sudah dan tentu saja gagal. Tercatat, banyak pelanggaran HAM untuk membasmi mereka yang berseberangan dengannya, menjadikan Ikhwanul Muslimin menjadi partai terlarang di Mesir berikut membunuh keji para pemimpinnya, memanipulasi pemilu dengan berbagai kecurangan, dan tentu saja rezimnya yang korup telah menjadikan dirinya bagaikan tak tergulingkan.
Ketika Jenderal Hassan al-Roueini (10/02/11), salah satu komandan militer Kairo datang ke Lapangan Tahrir lalu mengatakan di hadapan para demonstran, “Semua tuntutan kalian akan terwujud hari ini” disinilah bukti militer Mesir sudah berseberangan dengan Husni Mubarak.
“Saya tidak akan mencalonkan diri lagi pada pemilihan umum September mendatang,” tolaknya beberapa jam kemudian. Trik manipulasi yang sudah sangat dikenal rakyat Mesir itu serta merta tak digubris, disambut dengan makin parahnya protes di hari Jumat penggulingannya. Wakil Presiden Mesir Omar Suleiman yang sedianya menjadi tameng kekuasaannya pun tak kuasa menahan suara rakyat yang kian menggelora, sehari setelah penolakannya mundur itu, terpaksalah Omar Suleiman yang menyatakan lengsernya Husni Mubarak ,”Dalam situasi pedih yang telah dilalui negeri ini, Presiden Husni Mubarak memutuskan meninggalkan posisinya sebagai presiden republik. Ia telah memberi mandat kepada Majelis Tertinggi Militer untuk menjalankan negara. Allah adalah pelindung dan penolong kita”. Drama 3 pekan itu berakhir dengan kemenangan rakyat.
Lengsernya Husni Mubarak adalah kemenangan rakyat, tetapi kuncinya adalah militer. Keangkuhan kediktatorannya diam-diam ditinggalkan para petinggi militernya, yang menunggu waktu. Maka sikap militer Mesir cenderung berpihak rakyat pengunjuk rasa, terkesan “membiarkan” aksi demo, hanya melindungi obyek vital, dan mengkonsentrasikan di lapangan Tahrir. Husni Mubarak boleh saja menunjuk siapa saja dari kroninya sebagai tameng kekuasaan, tapi namun Dewan Komando Tertinggi Militer Mesir terang-terangan menolak mendukung pengalihan kekuasaan ke Omar Suleiman. Inilah titik balik, yang melengserkan Husni Mubarak.
Jenderal-jenderal penting seperti dilaporkan kantor berita negara MENA, terang - terangan “mendukung permintaan sah rakyat” dan akan “melakukan langkah-langkah untuk melindungi negara”.
Mereka yang sering disebut-sebut dalam keberpihakannya terhadap rakyat dan kemudian mengambil alih pemerintahan sementara adalah :
- Hussein Tantawi ( Menhan ), menolak tawaran wakil PM, untuk mengambil hati rakyat di tahrir Square
- Mahmoud Reda Hafez Mohamed, kepala staf angkata udara Mesir
- Sami Hafez Anan, mediator transisi ke pemerintahan baru
- Letnan Jenderal Abd El-Aziz Seif Eldeen, komandan pertahanan udara
- Mohab Mamish, kepala angkatan laut
jajaran komandan tertinggi tersebut, belum ditambah lagi belasan komandan militer lapangan, yang berbalik ikut mengambil peran dalam gerakan demonstrasi.
Semakin jelas bahwa ketika Militer Mesir kepada rakyat pengunjuk rasalah yang menjadi kunci berakhirnya drama 3 pekan, tergulingnya Husni Mubarak. Terlepas apapun motif di belakang mereka, kekuasaan pemerintahan mutlak didukung militer.
Kejadian Mesir, sangat mirip kejadian lengsernya Suharto, 1998. ketika rakyat leluasa dijaga militer berdemo habis-habisan di pelataran Gedung MPR/DPR Jakarta. Ketika Gusdur, mengeluarkan dekrit pembubaran MPR, yang tak didukung sama sekali oleh TNI, kekuasaan pemerintahan tak punya taji.
Mesir mungkin belajar dari Indonesia dalam proses pelengseran Suharto, berikut peran militernya. Militer, tentara sudah seharusnya tumbuh bersama rakyat, pengawal demokrasi, memberi ruang, dan mencegah tirani yang menyengsarakan rakyat merajalela.
Oya, jika kemarin ada saja yang bermimpi, kejatuhan Zine El Abidine Ben Ali (Tunisia), Husni Mubarak (Mesir), menular ke SBY, saya harus mengatakan ketidaksetujuan. Karena negara-negara itulah yang justru tertinggal, yang justru harus belajar banyak dari proses transisi demokrasi di Indonesia. Seburuk-buruknya SBY, tiap hari dicaci maki, dan dibela habis-habisan oleh para pendukungnya, demokrasi dan kesejahteraan masih punya pergerakan positif. Tidak pernah ada aksi penangkapan penentangnya, dan perbedaan selalu dikembalikan ke meja hukum. Berdemolah, sepuasnya nikmati era demokrasi Indonesia tercinta.
Kemudian, adakah alasan militer berdiri berseberangan dengan SBY ? apalagi setelah program remunerasi digulirkan ? alasan yang cukup, bahwa militer akan tetap berdiri di belakang SBY. Karena dua alasan : belum terciptanya tirani, dan stabilitas masih terjaga.
Mari energi kebangsaan kita disalurkan untuk memakmurkan negeri, bukan untuk saling menjatuhkan. Dan, penguasa ingatlah tidak ada tirani yang tidak jatuh, berhentilah berpongah sebelum rakyat menjatuhkanmu dengan noda malu tercoreng dalam sejarah.
Sumber :kompasiana
Demokratisai disuatu system pemerintahan memerlukan proses yang tidaklah mudah. Pada saat perubahan terjadi, selalu ada orang yang tidak ingin melakukan perubahan terus menerus, atau ada manusia yang tidak mampu menyesuaikan diri.Dalam kontes demokratisasi, peran individu yang mampu menerima perubahan itu sangat penting. Untuk itulah, individu harus punya tanggung jawab. Apalagi globalisasi yang terus mendorong perubahan yagn tidak bisa ditahan oleh Negara manapun.
Contoh demokratisasi yang masih hangat beritanya yaitu lengsernya Husni Mubarak yang menjabat memerintah Mesir kurang lebih 31 tahun. Dengan pemerintahan yang otoriter maka masyarakat mesirpun gerah dan terjadi demonstrasi akbar, dan melengserkan Husni Mubarak. Demontrasi tersebut berlangsung kurang lebih 14 hari, akhirnya “Jumatul Ghadhab” itu menemukan “Jumatut Tarhil” (Jumat perginya Mubarak), revolusi Jumat di Mesir yang dimulai pekan terakhir Januari 2011, berakhir pada Jumat ketiga tepat 11/02/2011. Hari bersejarah bagi Mesir dimana kediktatoran Husni Mubarak bisa dihentikan. Kemenangan suara rakyat yang juga menjadi suara Tuhan. Korban ratusan orang akibat bentrokan-bentrokan demonstran tidak sia-sia.
Trik-trik mengambil hati rakyat yang mulai berdemo sejak 26/01/11 itu dimulai dengan dibentuknya kabinet Ahmed Shafiq (28/01/11), janji pemilu, janji akan adanya demokrasi, janji reformasi, tapi semuanya tak mempan. Para pengunjuk rasa selama 3 pekan fokus, perubahan rezim tidak hanya sekedar perubahan kabinet, atau sekedar kedok bongkar pasang pimpinan pemerintahan yang ujung-ujungnya masih kroni Mubarak. “Mereka yang menuntut perubahan rezim, tidak mengubah kabinet,” wartawan Al Jazeera Rawya Rageh memberitakan.
Ribuan demonstran entah punya keberanian darimana, entah mempunyai tenaga tanpa henti darimana, tetap fokus, bergeming, tak tergoyahkan untuk terus menyuarakan turunnya sang Firaun masa kini. Militer yang biasanya galak menyalakkan senjata, tak kuasa bertindak lebih jauh melawan rakyat negeri sendiri. Militer Mesir memainkan peran besar dan kiranya terpuji mengukirkan sejarah baru untuk perubahan positif di negara itu.
Sejarah panjang dari tahun 1981 sampai 2011 tepat 30 tahun kekuasaannya, upaya-upaya mengakhiri kediktatoran bermacam-macam sudah dan tentu saja gagal. Tercatat, banyak pelanggaran HAM untuk membasmi mereka yang berseberangan dengannya, menjadikan Ikhwanul Muslimin menjadi partai terlarang di Mesir berikut membunuh keji para pemimpinnya, memanipulasi pemilu dengan berbagai kecurangan, dan tentu saja rezimnya yang korup telah menjadikan dirinya bagaikan tak tergulingkan.
Ketika Jenderal Hassan al-Roueini (10/02/11), salah satu komandan militer Kairo datang ke Lapangan Tahrir lalu mengatakan di hadapan para demonstran, “Semua tuntutan kalian akan terwujud hari ini” disinilah bukti militer Mesir sudah berseberangan dengan Husni Mubarak.
“Saya tidak akan mencalonkan diri lagi pada pemilihan umum September mendatang,” tolaknya beberapa jam kemudian. Trik manipulasi yang sudah sangat dikenal rakyat Mesir itu serta merta tak digubris, disambut dengan makin parahnya protes di hari Jumat penggulingannya. Wakil Presiden Mesir Omar Suleiman yang sedianya menjadi tameng kekuasaannya pun tak kuasa menahan suara rakyat yang kian menggelora, sehari setelah penolakannya mundur itu, terpaksalah Omar Suleiman yang menyatakan lengsernya Husni Mubarak ,”Dalam situasi pedih yang telah dilalui negeri ini, Presiden Husni Mubarak memutuskan meninggalkan posisinya sebagai presiden republik. Ia telah memberi mandat kepada Majelis Tertinggi Militer untuk menjalankan negara. Allah adalah pelindung dan penolong kita”. Drama 3 pekan itu berakhir dengan kemenangan rakyat.
Lengsernya Husni Mubarak adalah kemenangan rakyat, tetapi kuncinya adalah militer. Keangkuhan kediktatorannya diam-diam ditinggalkan para petinggi militernya, yang menunggu waktu. Maka sikap militer Mesir cenderung berpihak rakyat pengunjuk rasa, terkesan “membiarkan” aksi demo, hanya melindungi obyek vital, dan mengkonsentrasikan di lapangan Tahrir. Husni Mubarak boleh saja menunjuk siapa saja dari kroninya sebagai tameng kekuasaan, tapi namun Dewan Komando Tertinggi Militer Mesir terang-terangan menolak mendukung pengalihan kekuasaan ke Omar Suleiman. Inilah titik balik, yang melengserkan Husni Mubarak.
Jenderal-jenderal penting seperti dilaporkan kantor berita negara MENA, terang - terangan “mendukung permintaan sah rakyat” dan akan “melakukan langkah-langkah untuk melindungi negara”.
Mereka yang sering disebut-sebut dalam keberpihakannya terhadap rakyat dan kemudian mengambil alih pemerintahan sementara adalah :
- Hussein Tantawi ( Menhan ), menolak tawaran wakil PM, untuk mengambil hati rakyat di tahrir Square
- Mahmoud Reda Hafez Mohamed, kepala staf angkata udara Mesir
- Sami Hafez Anan, mediator transisi ke pemerintahan baru
- Letnan Jenderal Abd El-Aziz Seif Eldeen, komandan pertahanan udara
- Mohab Mamish, kepala angkatan laut
jajaran komandan tertinggi tersebut, belum ditambah lagi belasan komandan militer lapangan, yang berbalik ikut mengambil peran dalam gerakan demonstrasi.
Semakin jelas bahwa ketika Militer Mesir kepada rakyat pengunjuk rasalah yang menjadi kunci berakhirnya drama 3 pekan, tergulingnya Husni Mubarak. Terlepas apapun motif di belakang mereka, kekuasaan pemerintahan mutlak didukung militer.
Kejadian Mesir, sangat mirip kejadian lengsernya Suharto, 1998. ketika rakyat leluasa dijaga militer berdemo habis-habisan di pelataran Gedung MPR/DPR Jakarta. Ketika Gusdur, mengeluarkan dekrit pembubaran MPR, yang tak didukung sama sekali oleh TNI, kekuasaan pemerintahan tak punya taji.
Mesir mungkin belajar dari Indonesia dalam proses pelengseran Suharto, berikut peran militernya. Militer, tentara sudah seharusnya tumbuh bersama rakyat, pengawal demokrasi, memberi ruang, dan mencegah tirani yang menyengsarakan rakyat merajalela.
Oya, jika kemarin ada saja yang bermimpi, kejatuhan Zine El Abidine Ben Ali (Tunisia), Husni Mubarak (Mesir), menular ke SBY, saya harus mengatakan ketidaksetujuan. Karena negara-negara itulah yang justru tertinggal, yang justru harus belajar banyak dari proses transisi demokrasi di Indonesia. Seburuk-buruknya SBY, tiap hari dicaci maki, dan dibela habis-habisan oleh para pendukungnya, demokrasi dan kesejahteraan masih punya pergerakan positif. Tidak pernah ada aksi penangkapan penentangnya, dan perbedaan selalu dikembalikan ke meja hukum. Berdemolah, sepuasnya nikmati era demokrasi Indonesia tercinta.
Kemudian, adakah alasan militer berdiri berseberangan dengan SBY ? apalagi setelah program remunerasi digulirkan ? alasan yang cukup, bahwa militer akan tetap berdiri di belakang SBY. Karena dua alasan : belum terciptanya tirani, dan stabilitas masih terjaga.
Mari energi kebangsaan kita disalurkan untuk memakmurkan negeri, bukan untuk saling menjatuhkan. Dan, penguasa ingatlah tidak ada tirani yang tidak jatuh, berhentilah berpongah sebelum rakyat menjatuhkanmu dengan noda malu tercoreng dalam sejarah.
Sumber :kompasiana
Langganan:
Komentar (Atom)